Penyelenggaran pendidikan khusus saat ini masih banyak yang
menggunakan Integrasi antar jenjang (satu atap) bahkan digabung juga dengan
integrasi antar jenis. Pola ini hanya didasarkan pada effisiensi ekonomi
padahal sebenarnya sangat merugikan anak karena dalam praktiknya seorang guru
yang mengajar di SDLB juga mengajar di SMPLB dan SMALB. Jadi perlakuan yang
diberikan kadang sama antara kepada siswa SDLB, SMPLB dan SMALB. Secara
kualitas materi pelajaran juga kurang berkualitas apalagi secara psikologis
karena tidak menghargai perbedaan karakteristik rentang usia.
Adapun
bentuk satuan pendidikan / lembaga sesuai dengan kekhususannya di Indonesia
dikenal SLB bagian A untuk tunanetra, SLB bagian B untuk tunarungu, SLB bagian
C untuk tunagrahita, SLB bagian D untuk tunadaksa, SLB bagian E untuk tunalaras
dan SLB bagian G untuk cacat ganda.
PP No. 17 Tahun 2010 Pasal 129 ayat (3)
menetapkan bahwa Peserta didik berkelainan terdiri atas peserta didik yang: a.
tunanetra; b. tunarungu; c. tunawicara; d. tunagrahita; e. tunadaksa; f.
tunalaras; g. berkesulitan belajar; h. lamban belajar; i. autis; j. memiliki
gangguan motorik; k. menjadi korban penyalahgunaan narkotika, obat terlarang,
dan zat adiktif lain; dan l. memiliki kelainan lain.
Pemerintah
sebenarnya ada kesempatan memberikan perlakuan yang sama kepada Anak Indonesia
tanpa diskriminasi. Coba renungkan kalau bisa mendirikan SD Negeri, SMP Negeri,
SMA Negeri untuk anak bukan ABK, mengapa tidak bisa mendirikan SDLB Negeri,
SMPLB Negeri, dan SMALB Negeri bagi ABK. Hingga Juni tahun 2013 di Provinsi
Jawa Tengah dan DIY baru Pemerintah Kabupaten Cilacap yang berkenan mendirikan
SDLB Negeri, SMPLB Negeri, dan SMALB Negeri masing-masing berdiri sendiri
sebagai satuan pendidikan formal. Kebijakan Pemerintah Kabupaten Cilacap tidak
mempermasalahkan kewenangan siapa pengelolaan satuan pendidikan khusus, akan
tetapi semata-mata didasari oleh kebutuhan masyarakat sebagai warga negara yang
berdomisili di wilayahnya.Pendidikan Inklusi adalah kebersamaan untuk memperoleh pelayanan pendidikan dalam satu kelompok secara utuh bagi seluruh anak berkebutuhan khusus usia sekolah , mulai dari jenjang TK, SD, SLTP Sampai dengan SMA.
Pada kasus gangguan pendengaran, pendidikan inklusi ini adalah kelanjutan dari model terapi mendengar (Auditori Verbal Terapi) yang telah dilakukan pada anak gangguan pendengaran pada usia dini. Dengan dasar-dasar pendengaran yang lebih baik, pelayanan terhadap pendidikan yang harus diberikan juga semestinya lebih terpadu dan terarah. Pelayanan ini dalam rangkaian usaha pendidikan inklusi bagi anak dengan gangguan pendengaran akan lebih baik jika melakukan pendekatan model Natural Auditory Oral.
Tujuan dari dari pendidikan inklusi bagi anak gangguan pendengaran ini antara lain
• Adanya kebutuhan untuk bersosialisasi dan berintegrasi dengan anak sebaya di sekolah maupun di dalam lingkungan rumah
• Adanya optimisme keluar dari problem komunikasi bagi anak gangguan mendengar, dengan penyelenggaraan pendidikan yang lebih baik.
• Penghayatan dan menumbuhkan rasa empati dari kalangan anak normal terhadap anak berkebutuhan khusus.
Penanganan Anak Gangguan Pendengaran
• Pemberian Intervensi dini/awal yaitu memberikan layanan deteksi dini, diagnosa, konsultasi, fasilitator dan penyediaan Alat Bantu Dengar dan Implant Coachlea, perawatan dan servisnya.
• Program habilitasi dengan menitikberatkan pada perbaikan cara komunikasi anak dengan menggunakan pendengaran sebagai titik tolak dalam berinteraksi dengan lingkungan luar anak.
• Program pelayanan pendidikan terpadu, memberikan penyetaraan pada sekolah khusus untuk dipersiapkan pada jalur pendidikan reguler.
Memberikan assesment awal pada anak yang telah masuk pada sekolah regular dengan pendampingan sebagai guru kunjung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar